Skip to main content

HUKUM PIDANA (PENGERTIAN DELIK, MACAM DELIK, TIPIKOR, KEJAHATAN DAN PELANGGARAN, KELALAIAN DAN KESENGAJAAN)

HUKUM PIDANA
A.  PENGERTIAN DELIK
Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut :
“perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”
Utrecht memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen) atau suatu melalaikan (verzuin atau nalaten) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu), dan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum (Utrecht, 1994 : 251).
Tirtaamidjaja (Leden Marpaung, 2005 : 7) menggunakan istilah pelanggaran pidana untuk kata delik.
Andi Zainal Abidin Farid (1978 : 114) menggunakan istilah peristiwa pidana dengan rumusan peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu.
Demikian pula Rusli Effendy (1989 : 54) memakai istilah peristiwa pidana yang menyatakan bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan peristiwa saja, maka hal ini dapat mempunyai arti yang lain.
Menurut Moeljatno (1993 : 54) memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van Hammel mendefiniskan delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain, sedangkan Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (Leden Marpaung, 2005 : 8).
Berdasarkan Prof. Simons maka delik memuat beberapa unsur yaitu:
a.    Suatu perbuatan manusia
b.    Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang
c.    Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP maka seseorang dapat dihukum bila memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a.    Ada suatu norma pidana tertentu
b.    Norma pidana tersebut berdasarkan Undang-undang
c.    Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan itu terjadi.5
Dengan kata lain tidak seorangpun dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan Undang-undang terhadap perbuatan itu.
Pengertian dari delik menurut Achmad Ali (2002:251) adalah: Pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun Undang-Undang dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat ataupun hukum publik termasuk hukum pidana.

B.  KEJAHATAN DAN PELANGGARAN

1.    Pengertian Pelanggaran dan Kejahatan
Kejahatan merupakan sifat yang dalam kamus bahasa indonesia berasal berarti sifat yang jelek atau buruk. Jahat kemudian mendapat awalan ke dan akhiran an yang berarti melakukan suatu tindakan yang buruk atau jelek. Menurut B. Simandjuntak kejahatan merupakan “suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.” Sedangkan Van Bammelen merumuskan kejahatan sebagai tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.
R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undangundang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Lebih lanjut, pengertian kejahatan dapat diuraikan menurut penggunaannya sebagai berikut:
1.    Pengertian secara praktis : kejahatan tersebut dapat melanggar norma yang dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan.
2.    Pengertian secara religius : menguraikan bahwa kejahatan merupakan suatu dosa yang diancam dengan hukman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.
3.    Pengertian dalam arti juridis : kejahatan merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang berakibat pada timbulnya suatu kerugian atau berakibat pada menderitanya seseorang, yang mana perbuatan tersebut dapat diancam dengan hukuman baik kurungan atau penjara sebagaimana pasal 10 KUHP.
Sebagai contoh pembunuhan dengan disengaja tanpa terlebih dahulu direncanakan yang merupakan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan oleh seseorang. Dengan hilangnya nyawa seseorang, maka ada suatu perbuatan yang tidak pantas yang dapat merugikan baik keluarga ataupun masyarakat, sehingga terjadi ketidakseimbangan, hilangnya ketentraman dan ketertiban di masyarakat tersebut. Secara praktis, pelaku telah melanggar norma yang dapat menyebabkan suatu reaksi yang berupa sanksi sosial berupa cemoohan atau pengucilan dari masyarakat. Jika ditinjau dari aspek religius, maka pelaku telah berbuat dosa yang kelak akan mendapat hukuman dari Tuhan berupa siksa api neraka. Sedangkan dari aspek yuridisnya, pelaku telah melanggar pasal 338 KUHP, sehingga dapat diancam dengan ancaman pidana penjara 15 tahun
Lantas kejahatan apakah sebuah pelanggaran ?kejahatan merupakan suatu pelanggaran berat terhadap aturan atau undang-undang yang berda dalam suatu masyarakat yang dilakukan oleh seseorang. Sebagaimana digambarkan diatas, pelaku pembunuhan telah melanggar ketentuan yang ada dalam KUHP, ketentuan yang ada dalam norma masyarakat, ketentuan yang telah digariskan oleh Tuhan yang diajarkan dalam setiap agama masing-masing.
Pelanggaran merupakan perilaku seseorang yang menyimpang untuk melakukan tindakan menurut kehendak sendiri tanpa memperhatikan peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama.  Ketidakpahaman akan seseorang terhadap sebuah aturan menjadikannya berbuat dari apa yang telah dilarang oleh aturan tersebut. Secara sosiologis, pelanggaran merupakan perbuatan atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang yang bertentangan dengan nilai-nilai yang berada dalam masyarakat ataupun negara yang telah dituangkan dalam sebuah aturan hukum yang baku. Penyebab dari pelanggaran bisa terjadi karena keterbatasan informasi ataupun akses akan aturan  tersebut ataupun kurangnya penjelasan akan aturan hukum tersebut.

2.    Perbedaan Pelanggaran dan Kejahatan
Terdapat dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran (Moeljatno,2002:72), yakni pandangan pertama yang melihat adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam pandangan perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentantangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian (Moeljatno,2002:71).Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran.

Bisa dikatakan bahwa perbedaan antara pelanggaran dengan kejahatan adalah:
-Pelanggaran
orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP).

-Kejahatan
meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebutrechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).

Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu (Moeljatno,2002:74) :
1.         Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.
2.         Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kelapaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.
3.         Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (Pasal 54 KUHP). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP).
4.         Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5.         Dalam hal pembarengan (concurcus) pada pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. kumulasi pidana yang enyeng lebih mudah daripada pidana berat.

3.    Persamaan Pelanggaran dan Kejahatan
Persamaan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu merupakan perbuatan yang termasuk dalam hukum pidana, merugikan orang lain, dan bertentangan dengan kepentingan umum.


C.  DELIK OMISI DAN KOMISI

            Delik Komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan (verbod) undang-undang. Delik ini bersifat aktif. Contoh: Perbuatan mencuri, yang dilarang adalah mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal 362 KUHP.
            Delik Omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan (gebod) menurut undang-undang. Hal ini terjadi karena dakwa melakukan kelalaian terhadap apa yang harus dilakukan dan bersifat diam. Contoh : Suatu keadaan di mana seseorang mengetahui ada tindak kejahatan tetapi tidak melaporkan ke pihak berwajib, maka dikenakan pasal 164 KUHP.
Delik commisionis per ommisionen commissa adalah delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Contoh : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).


D. DELIK FORMIL DAN MATERIIL

1.    Delik Formil
Menurut Drs. P.A.F. Lamintang, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia
“Delik formil ialah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.”
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan.
Adapun macam-macam delik yang terdapat di KUHP, yang termasuk dalam Delik Formil, sebagai berikut :
·         Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan
·         Pasal 209 KUHP tentang Penyuapan
·         Pasal 242 KUHP tentang Sumpah Palsu
·         Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Pada pencurian misalnya, asal sudah dipenuhi unsur dalam pasal 362 KUHP, tindak pidana sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa rugi atau tidak, merasa terancam kehidupannya atau tidak.

2.    Delik Materil
Menurut Drs. P.A.F. Lamintang,
“Delik materil ialah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang”
Disebut materil maksudnya ialah yang menjadi pokok larangan tindak pidana ialah pada menimbulkan akibat tertentu, disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada menimbulkan akibat, sedangkan wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan.
Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya tindak pidana bukan tergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi bergantung pada apakah dari wujud perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum.
Adapun macam-macam delik yang terdapat di KUHP, yang termasuk dalam Delik Materil, sebagai berikut :
1)    Pasal 187 KUHP tentang Pembakaran dan sebagainya,
2)    Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan
3)    Pasal 378 KUHP tentang Penipuan
Harus timbul akibat-akibat seperti kebakaran, matinya si korban, pemberian suatu barang.


D.  DELIK ADUAN DAN DELIK UMUM
1). Delik Aduan

Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan delik aduan (klach delict) merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini membicarakan mengenai kepentingan korban.

Dalam ilmu hukum pidana delik aduan ini ada dua macam, yaitu :
1. Delik Aduan absolute (absolute klacht delict)
2. Delik aduan relative (relatieve klacht delict)

1.    Delik Aduan absolute (absolute klacht delict)
Merupakan suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau kejahatannya saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu delik aduan absolute ini mempunyai akibat hukum dalam masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar.
Contoh : A dan B adalah suami istri. B berzinah dengan C dan D. Dan A hanya mengadukan B telah melakukan perbuatan perzinahan. Namun, karena tidak dapat dipisahkan/onsplitbaar maka tidak hanya B saja yang dianggap sebagai pelaku, tetapi setiap orang yang terlibat suatu perbuatan atau kejahatan yang bersangkutan yaitu C dan D secara otomatis (sesuai hasil penyelidikan) harus diadukan pula oleh A. Setidaknya delik perzinahan tidak dapat diajukan hanya terhadap dader/mededader saja, melainkan harus keduanya dan pihak lain yang terlibat.
Adapun macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam Delik Aduan Absolut, sebagai berikut :
Ø Pasal 284 KUHP, tentang perzinahan.
Ø Pasal 287 KUHP, bersetubuh di luar perkawinan dengan seorang wanita berumur di bawah lima belas tahun atau belum waktunya untuk kawin.
Ø Pasal 293-294 KUHP, tentang perbuatan cabul.
Ø Pasal 310-319 KUHP (kecuali pasal 316), tentang penghinaan.
Ø Pasal 320-321 KUHP, penghinaan terhadap orang yang telah meninggal dunia.
Ø Pasal 322-323 KUHP, perbuatan membuka rahasia.
Ø Pasal 332 KUHP, melarikan wanita.
Ø Pasal 335 ayat (1) butir 2, tentang pengancaman terhadap kebebasan individu.
Ø Pasal 485 KUHP, tentang delik pers.

2.    Delik aduan relative (relatieve klacht delict)
Yakni merupakan suatu delik yang awalnya adalah delik biasa, namun karena ada hubungan istimewa/keluarga yang dekat sekali antara si korban dan si pelaku atau si pembantu kejahatan itu, maka sifatnya berubah menjadi delik aduan atau hanya dapat dituntut jika diadukan oleh pihak korban.
Dalam delik ini, yang diadukan hanya orangnya saja sehingga yang dilakukan penuntutan sebatas orang yang diadukan saja meskipun dalam perkara tersebut terlibat beberapa orang lain. Dan agar orang lain itu dapat dituntut maka harus ada pengaduan kembali. Dari sini, maka delik aduan relative dapat dipisah-pisahkan/splitsbaar.
Contoh : A adalah orang tua. B adalah anaknya. Dan C adalah keponakannya. B dan C bekerjasama untuk mencuri uang di lemari A. Dalam perkara ini jika A hanya mengadukan C saja maka hanya C sajalah yang dituntut, sedangkan B tidak.
Dari kasus di atas bisa dilihat bahwa delik aduan relative ini seolah bisa memilh siapa yang ingin diadukan ke kepolisian. A karena orang tua dari B, maka ia tidak ingin anaknya yaitu B terkena hukuman pidana, dia hanya memilih C untuk diadukan, bisa karena dengan pertimbangan C bukanlah anaknya. Namun jka kita bandingkan dengan contoh kasus pada delik aduan absolute, dalam kasus perzinahan itu, walau si A hanya kesal dengan salah satu pelaku perzinahan itu, ia tidak bisa hanya mengadukan orang itu saja, karena bagaimanapun konsekuensinya, pihak lain yang terlibat juga dianggap sebagai pelaku.
Adapun macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam Delik Aduan Relatif, sebagai berikut :
1.    Pasal 367 ayat (2) KUHP, tentang pencurian dalam keluarga.
2.    Pasal 370 KUHP, tentang pemerasan dan pengancaman dalam keluarga.
3.    Pasal 376 KUHP, tentang penggelapan dalam keluarga
4.    Pasal 394 KUHP, tentang penipuan dalam keluarga.
5.    Pasal 411 KUHP, tentang perusakan barang dalam keluarga.

2) Delik Biasa
Suatu perkara tindak pidana yang dapat di proses tanpa adanya persetujuan atau laporan dari pihak yang di rugikan (korban). Didalam delik biasa walaupun korban telah berdamai dengan tersangka, proses hukum tidak dapat di hentikan. Proses Hukumnya tetap berjalan sampai di pengadilan.
Seperti Pasal 338 dan 362 KUHP apa bila tindak pidana tersebut terjerat pasal 338 atau 362 KUHP maka proses hukumnya harus tetap berjalan
Contoh: Penganiayaan, pembunuhan, perampokan.


F. KESENGAJAAN DAN KELALAIAN


I.     Kesengajaan

A.   Pengertian Kesengajaan

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa). Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya kesenggajaan daripada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.

Lalu apa itu yang disebut dengan kesenggajaan? KUHP kita tidak memberi definisi mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas ditentukan: “Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.

Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yaitu “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. Dalam pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya.

B.   Teori-Teori Kesengajaan

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi “menghendaki dan mengetahui” itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut 2 (dua) teori sebagai berikut:

1)    Teori kehendak (wilstheorie)
Teori kehendak diajarkan oleh Von Hippel (Jerman) dengan karangannya tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” 1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu, dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, maka kehendak orang tersebut adalah menimbulkan akibat atas perbuatannya, karena ia melakukan perbuatan itu justru karena ia menghendaki akibatnya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.
Teori tentang kehendak terbagi menjadi 2 (dua) ajaran, yaitu:
a.    Determinisme, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Manusia melakukan suatu perbuatan didorong oleh beberapa hal, baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya;
b.    Indeterminisme, aliran ini muncul sebagai reaksi dari aliran determinasi, yang menyatakan bahwa walaupun untuk melakukan sesuatu perbuatan dipengaruhi oleh bakat dan milieu, manusia dapat menentukan kehendaknya secara bebas;
Aliran Determinisme tidak dapat diterapkan dalam hukum pidana karena akan menimbulkan kesulitan dalam hal pertanggungjawaban. Sehingga muncul Determinisme Moldern yang menyatakan bahwa Manusia adalah anggota masyarakat, dan sebagai anggota masyarakat apabila melanggar ketertiban umum, maka ia bertanggungjawab atas perbuatannya.

2)    Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)
Teori pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank(Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai. Untuk memperjelas teori ini, umumnya digunakan ilustrasi : seseorang yang hendak membunuh orang lain, lalu menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran orang yang dituju, maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu timbul sebagaimana kehendak orang tersebut, misal saja karena pelurunya meleset justru mengenai orang lain yang tidak dituju. 
Oleh karena itu menurut teori pengetahuan, pelaku tindak pidana tidak harus menghendaki akibat perbuatannya melainkan hanya dapat membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul sudah cukup untuk menyatakan pelaku “menghendaki dan mengetahui”.

C.   Bentuk atau Corak Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut:
1.    Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus).
Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
2.    Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn).
Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.
3.    Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet).
Dalam hal ini keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh: meracuni seorang bapak, yang kena anaknya.

D.   Sifat Kesengajaan

Kesengajaan memiliki 2 (dua) sifat, yaitu:
Sebagai penguat teori kesengajaan, dapat pula ditinjau berdasarkan sifatnya, dimana kesengajaan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu kesengajaan berwarna (gekleurd) dan kesengajaan tidak berwarna (kleurloos).

1.       Kesengajaan berwarna (gekleurd)
Sifat kesengajaan dikatakan berwarna bilamana kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin pelaku dengan sifat melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya untuk menyatakan adanya kesengajaan untuk berbuat jahat di perlukan syarat, bahwa pada saat melakukan perbuatan pidana, si pelaku ada kesadaran bahwa perbuatannya dilarang dan/atau dapat dipidana. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa : “Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan”. Sistem hukum Indonesia tidak menganut teori kesengajaan ini.

2.       Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos)
Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti bahwa untuk adanya kesengajaan pelaku perbuatan yang dilarang/dipidana tidak disyaratkan bahwa Ia perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/sifat melawan hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan telah berbuat dengan sengaja, walaupun ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum.
Di Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna karena di Indonesia menganut doktrin fiksi hukum. Fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure). Semua orang dianggap tahu hukum, tak terkecuali petani yang tak lulus sekolah dasar, atau warga yang tinggal di pedalaman. Dalam bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu. Mungkin ada yang merasa ini tidak adil, tapi itu hak anda sedangkan yang saya jelaskan adalah fakta yang terjadi.

Berdasarkan uraian teori kesengajaan dan sifatnya maka dapat disimpulkan sistem hukum pidana kita (KUHP) menganut Teori pengetahuan/membayangkan (voorstellingtheorie) dan Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos) dalam menentukan kesengajaan dalam perbuatan pidana. Untuk menilai apakah pelaku tindak pidana sengaja melakukan perbuatannya adalah dengan menilai apakah pelaku membayangkan/menyangka (voorstellen) akibat dari perbuatannya tersebut, tidak menjadi masalah apakah akibat perbuatannya sesuai dengan bayangan ataupun sangkaan ataupun tujuan pelaku, dan juga tidak menjadi masalah apakah pelaku tahu perbuatan tersebut melanggar hukum ataupun tidak. Kalimat sederhananya adalah bila pelaku tindak pidana tahu apa yang dilakukan dan juga akibat perbuatannya walaupun tidak sesuai dengan tujuan yang dimaksud maka pelaku sudah secara sengaja melakukan perbuatan tindak pidana tersebut. Sesederhana itu saja.


E.   Macam Kesengajaan

Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesengajaan (dolus) mengenal berbagai macam kesenggajaan, antara lain:
1.       Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
  1. Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
  2. Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.
  3. Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan orang.
  4. Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
  5. Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya.
  6. Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini).
F.    Jenis Kesengajaan

a)    Kesengajaan yang Bersifat Tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesenjangan seperti ini ada pada suau tindakan pidana, si pelaku pantas dikenakan hukum pidana karena dengan adanya kesenjangan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelau benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi di pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b)    Kesengajaan secara Keinsyafan Kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Dengan kata lain, bahwa perbuatannya pasti akan menimbulkan akibat lain. Tapi pelaku mengambil resiko terjadinya akibat lain demi tercapai akibat utidak diserta bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bama.

c)      Kesengajaan secara Keinsyafan Kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadiakibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

II.            Kealpaan (culpa)
A.   Pengertian Kealpaan
Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi. Oleh karena itu, undang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor), dan pendek kata schuld (kealpaan yang menyebabkan keadaan seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati.
Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan berbagai referensi yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih mudah dalam memahami tentang “kealpaan” ada baiknya dikemukakan dalam bentuk contoh simpel seperti tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam rumah yang terbuat dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran. Tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada orang yang terjatuh ke dalamnya, dsb.
Dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat:
1.    Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
    1. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
    2. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.
B.   Bentuk-Bentuk Kealpaan
Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas:
1.    Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi
2.    Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.

Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.
Oleh Vos (Bambang Poerrnomo 1992: 174) dinyatakan bahwa culpa mempunyai dua elemen yaitu:
a.    Tidak mengadakan penduga-duga terhadap akibat bagi si pembuat (voorzien-baarheid);
b.    Tidak mengadakan penghati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat (onvoorzictigheid).
Mengenai isi kealpaan yang pertama bahwa mengadakan penduga-duga terhadap akibat, berarti disini harus diletakkan adanya hubungan antara batin terdakwa dengan akibat yang timbul, bahkan perlu dicari hubungan kasual antara perbuatan terdakwa dengan akibat yang dilarang.
Mengenai kurang/tidak mengadakan penghati-hati apa yang diperbuat itu, oleh Vos (Bambang Poenormo 1992: 175), diadakan perincian adanya dua hal yang diperlukan yaitu:
a.    Pembuat tidak berbuat secara hati-hati menurut yang semestinya (tukang cat membersihkan pakaian kerja dengan bensin dekat dapur);
b.    Pembuat telah berbuar dengan hati-hati, akan tetapi perbuatanya pada pokoknya tidak boleh dilakukan (seseorang membuat mercon dengan sangat hati-hati, namun toh terjadi juga kebakaran).
Timbul pertanyaan sampai dimana adanya kurang berhati-hati sehingga si pelaku harus dihukum. Hal kesengajaan tidak menimbulkan pertanyaan ini karena kesengajaan adalah berupa suatu keadaan batin yang tegas dari seorang pelaku. Lain halnya dengan kurang berhati-hati yang sifatnya bertingkat-tingkat. Ada orang yang dalam melakukan sesuatu pekerjaan sangat berhati-hati, ada juga yang tidak berhati-hati, ada juag kurang berhati-hati, sehingga menjadi serampangang atau ugal-ugalan.
Menurut Memorie van Toelichting atau risalah penjelasan Undang-Undang, culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan, Rusli Effendy (1989: 85) Jurisprudensi menginterprestasikan culpa sebagai”kurang mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati”.


G. TIPIKOR
1.    Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata Latin “Corruptio” atau “Corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis “Corruption”, dalam bahasa Belanda “Korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “Korupsi” (Dr. Andi Hamzah, S.H., 1985: 143). Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1977: 149), sedangkan A.I.N Kramer ST. menerjemahkannya sebagai busuk, rusak, atau dapat disuapi (A.I.N. Kramer ST. 1997: 62). Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.
Korupsi dikenal pembuktian terbalik terbatas yaitu orang yang diteriksa harta bendanya oleh pengadilan tinggi wajib memberikan keterangan secukupnya yaitu mengenai harta benda sendiri dan harta benda orang lain yang dipandang erat hubungannnya menurut ketentuan pengadilan tinggi. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan di bawah kekuasaan jabatannya.
Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas. Yaitu penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
Sedangkan menurut undang-undang korupsi diartikan :
1.    Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
2.    Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3);
3.    Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
2.    Sejarah UU Tipikor Di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi di Indonesia sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1.    Undang-undang nomor 24 tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
2.    Undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3.    Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4.    Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3.    Pertanggung Jawaban Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1.    Korporasi  adalah  kumpulan  orang  dan  atau  kekayaan  yang  terorganisasi  baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2.    Pegawai Negeri adalah meliputi :
a.    pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang   tentang kepegawaian;
b.    pegawai  negeri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Kitab  Undang-undang  Hukum Pidana;
c.    orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d.    orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e.    orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3.    Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.




4.    Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :
1.    Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
a.    Pidana Mati, Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu
b.    Pidana Penjara
ü  Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
ü  Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
ü  Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
ü  Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
c.    Pidana Tambahan
ü  Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
ü  Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
ü  Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
ü  Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
ü  Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
ü  Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.



2.    Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
ü  Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
ü  Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
ü  Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
ü  Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
ü  Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.

Comments

Popular posts from this blog

CONTOH ANALISIS SWOT PADA DIRI SENDIRI

ANALISIS SWOT PADA DIRI SENDIRI   Analisis SWOT merupakan salah satu analisis tentang factor internal dan eksternal pada saat ini secara deskriftif agar dapat menghadapi semua tantangan dan ancaman di masa yang akan datang serta dapat mempersiapkan diri untuk menyesuaikan perubahan lingkungan yang dapat mempengaruhi pencapaian harapan dan keinginan. SWOT adalah singkatan dari Strengths (kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunities dan Treat. 1.       S trengths Adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan yang dimiliki oleh seseorang, organisasi, atau sebuah program saat ini yang bisa berpengaruh positif di masa yang akan datang. Contoh strengths : 1)       Dalam pelajaran dapan menyerap apa yang dijelaskan oleh guru atau dosen. Bila masih terdapat kesulitan, biasanya saya akan mempelajarinya kembali setelah pelajaran selesai dan berlatih mengerjakan soal agar saya benar-benar menguasainya. 2)       Mampu fokus dalam sesuatu hal yang ingin dicapai

SOAL PPH TENTANG OBJEK PAJAK (BENAR SALAH DAN PILIHAN GANDA)

SOAL BENAR SALAH 1.        Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima/ diperoleh WP yang berasal dari dalam negeri yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dalam bentuk apapun. SALAH Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima/ diperoleh WP yang berasal dari dalam negeri yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dalam bentuk apapun. Penghasilan tidak hanya yang berasal dari dalam negeri saja, tapi juga dari luar negeri 2.        Harta hibah yang diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dikenai PPh Final. SALAH Harta hibah yang diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat tidak termasuk objek pajak penghasilan, jadi tidak dikenakan pajak. 3.       Iuran pensiun dibayar pemberi kerja termasuk bukan objek pajak. BENAR 4.       Bagi badan yang memiliki kepemilikan saham paling rendah

CIVIL LAW : PENGERTIAN, KARAKTERISTIK, SUMBER HUKUM, NEGARA YANG MENERAPKAN

CIVIL LAW (HUKUM SIPIL) a.         Pengertian civil law Hukum sipil adalah sistem hukum yang diilhami dari hukum Romawi dengan ciri ditulis dalam suatu kumpulan, di kodifikasi , dan tidak dibuat oleh hakim. [1] Secara konseptual, sistem ini merupakan sekumpulan gagasan dan sistem hukum yang berasal dari Codex Yustinianus , namun juga banyak dipengaruhi oleh hukum Jermanik Awal , gereja , feudal, praktik lokal, [2] serta kecenderungan doktrinal seperti hukum kodrat , kodifikasi , dan positivisme hukum . Hukum sipil bersifat abstrak. Asas-asas umum dirumuskan, dan perbedaan antara hukum substantif dengan prosedural ditekankan. [3] Dalam sistem ini legislasi dipandang sebagai sumber hukum utama, dan sistem pengadilannya biasanya tidak terikat dengan pendahulu ( stare decisis ) dan terdiri dari petugas-petugas yudisial terlatih dengan kekuasaan penafsiran hukum yang terbatas. Prinsip hukum sipil adalah menyediakan kumpulan hukum yang tertulis dan dapat diakses kepada