HUKUM PIDANA (PENGERTIAN DELIK, MACAM DELIK, TIPIKOR, KEJAHATAN DAN PELANGGARAN, KELALAIAN DAN KESENGAJAAN)
HUKUM PIDANA
A. PENGERTIAN DELIK
Kata
delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam Wetboek Van
Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman disebut
delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut
delict.
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut :
“perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang; tindak pidana.”
Utrecht
memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu meliputi suatu
perbuatan (handelen atau doen) atau suatu melalaikan (verzuin atau nalaten)
maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau
melalaikan itu), dan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum, yaitu suatu
peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum (Utrecht,
1994 : 251).
Tirtaamidjaja
(Leden Marpaung, 2005 : 7) menggunakan istilah pelanggaran pidana untuk kata
delik.
Andi
Zainal Abidin Farid (1978 : 114) menggunakan istilah peristiwa pidana dengan
rumusan peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan
hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatan itu.
Demikian
pula Rusli Effendy (1989 : 54) memakai istilah peristiwa pidana yang menyatakan
bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata majemuk
dan janganlah dipisahkan satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan
peristiwa saja, maka hal ini dapat mempunyai arti yang lain.
Menurut
Moeljatno (1993 : 54) memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan yang
diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai
ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar
larangan tersebut.
Mengenai
delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing
memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik adalah feit yang
dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van Hammel mendefiniskan
delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain,
sedangkan Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang
tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (Leden Marpaung, 2005 :
8).
Berdasarkan Prof. Simons maka delik memuat beberapa unsur
yaitu:
a.
Suatu perbuatan manusia
b.
Perbuatan itu dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh Undang-undang
c.
Perbuatan itu dilakukan oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP maka seseorang dapat
dihukum bila memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a.
Ada suatu norma pidana tertentu
b.
Norma pidana tersebut berdasarkan
Undang-undang
c.
Norma pidana itu harus telah berlaku
sebelum perbuatan itu terjadi.5
Dengan kata lain tidak seorangpun dapat dihukum kecuali
telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan Undang-undang terhadap perbuatan
itu.
Pengertian
dari delik menurut Achmad Ali (2002:251) adalah: Pengertian umum tentang semua
perbuatan yang melanggar hukum ataupun Undang-Undang dengan tidak membedakan
apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat ataupun hukum publik termasuk
hukum pidana.
B. KEJAHATAN DAN PELANGGARAN
1.
Pengertian Pelanggaran dan Kejahatan
Kejahatan
merupakan sifat yang dalam kamus bahasa indonesia berasal berarti sifat yang
jelek atau buruk. Jahat kemudian mendapat awalan ke dan
akhiran an yang berarti melakukan suatu tindakan yang buruk atau
jelek. Menurut B. Simandjuntak kejahatan merupakan “suatu tindakan anti sosial
yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan
kegoncangan dalam masyarakat.” Sedangkan Van Bammelen merumuskan kejahatan
sebagai tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan
begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga
masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas
kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan
tersebut.
R.
Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan
secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah
suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undangundang. Ditinjau
dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau
tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan
masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Lebih
lanjut, pengertian kejahatan dapat diuraikan menurut penggunaannya sebagai
berikut:
1.
Pengertian secara praktis : kejahatan tersebut
dapat melanggar norma yang dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik
berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan.
2.
Pengertian secara religius : menguraikan bahwa
kejahatan merupakan suatu dosa yang diancam dengan hukman api neraka terhadap
jiwa yang berdosa.
3.
Pengertian dalam arti juridis : kejahatan
merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang
berakibat pada timbulnya suatu kerugian atau berakibat pada menderitanya
seseorang, yang mana perbuatan tersebut dapat diancam dengan hukuman baik
kurungan atau penjara sebagaimana pasal 10 KUHP.
Sebagai
contoh pembunuhan dengan disengaja tanpa terlebih dahulu direncanakan yang
merupakan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan oleh seseorang. Dengan
hilangnya nyawa seseorang, maka ada suatu perbuatan yang tidak pantas yang
dapat merugikan baik keluarga ataupun masyarakat, sehingga terjadi
ketidakseimbangan, hilangnya ketentraman dan ketertiban di masyarakat tersebut.
Secara praktis, pelaku telah melanggar norma yang dapat menyebabkan suatu
reaksi yang berupa sanksi sosial berupa cemoohan atau pengucilan dari
masyarakat. Jika ditinjau dari aspek religius, maka pelaku telah berbuat dosa
yang kelak akan mendapat hukuman dari Tuhan berupa siksa api neraka. Sedangkan
dari aspek yuridisnya, pelaku telah melanggar pasal 338 KUHP, sehingga dapat
diancam dengan ancaman pidana penjara 15 tahun
Lantas kejahatan apakah sebuah pelanggaran
?kejahatan merupakan suatu pelanggaran berat terhadap aturan atau undang-undang
yang berda dalam suatu masyarakat yang dilakukan oleh seseorang. Sebagaimana
digambarkan diatas, pelaku pembunuhan telah melanggar ketentuan yang ada dalam
KUHP, ketentuan yang ada dalam norma masyarakat, ketentuan yang telah
digariskan oleh Tuhan yang diajarkan dalam setiap agama masing-masing.
Pelanggaran merupakan perilaku seseorang yang
menyimpang untuk melakukan tindakan menurut kehendak sendiri tanpa
memperhatikan peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama.
Ketidakpahaman akan seseorang terhadap sebuah aturan menjadikannya berbuat dari
apa yang telah dilarang oleh aturan tersebut. Secara sosiologis, pelanggaran
merupakan perbuatan atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang berada dalam masyarakat ataupun negara
yang telah dituangkan dalam sebuah aturan hukum yang baku. Penyebab dari
pelanggaran bisa terjadi karena keterbatasan informasi ataupun akses akan
aturan tersebut ataupun kurangnya
penjelasan akan aturan hukum tersebut.
Terdapat
dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran (Moeljatno,2002:72),
yakni pandangan pertama yang melihat adanya perbedaan antara kejahatan dan
pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam pandangan perbedaan kualitatif
antara kejahatan dan pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan adalah
“rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam
undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht,
sebagai perbuatan yang bertentantangan dengan tata hukum. Pelanggaran
sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan
hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian
(Moeljatno,2002:71).Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan bahwa hanya
ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara
kejahatan dan pelanggaran.
Bisa
dikatakan bahwa perbedaan antara pelanggaran dengan kejahatan adalah:
-Pelanggaran
orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP).
orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP).
-Kejahatan
meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebutrechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).
meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebutrechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).
Perbedaan
antara kejahatan dan pelanggaran yaitu (Moeljatno,2002:74) :
1.
Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan
saja.
2.
Jika menghadapi kejahatan maka bentuk
kesalahan (kesengajaan atau kelapaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan
oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung
dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.
3.
Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak
dapat dipidana (Pasal 54 KUHP). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana
(Pasal 60 KUHP).
4.
Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan
maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada
kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5.
Dalam hal pembarengan (concurcus) pada
pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. kumulasi pidana yang enyeng
lebih mudah daripada pidana berat.
3.
Persamaan Pelanggaran dan Kejahatan
Persamaan
antara kejahatan dan pelanggaran yaitu merupakan perbuatan yang termasuk dalam
hukum pidana, merugikan orang lain, dan bertentangan dengan kepentingan umum.
C.
DELIK OMISI DAN KOMISI
Delik Komisi
adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan (verbod) undang-undang.
Delik ini bersifat aktif. Contoh: Perbuatan mencuri, yang dilarang adalah
mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal
362 KUHP.
Delik Omisi adalah
delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan (gebod) menurut undang-undang.
Hal ini terjadi karena dakwa melakukan kelalaian terhadap apa yang harus
dilakukan dan bersifat diam. Contoh : Suatu keadaan di mana seseorang
mengetahui ada tindak kejahatan tetapi tidak melaporkan ke pihak berwajib, maka
dikenakan pasal 164 KUHP.
Delik commisionis per ommisionen commissa
adalah delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan
tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Contoh : seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang
penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak
memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
D. DELIK FORMIL DAN MATERIIL
1.
Delik
Formil
Menurut Drs. P.A.F. Lamintang, dalam
bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia
“Delik formil ialah delik yang dianggap
telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang.”
Disebut dengan cara formil karena dalam
rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu.
Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, jika perbuatan yang menjadi
larangan itu selesai dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa bergantung
pada akibat yang timbul dari perbuatan.
Adapun macam-macam delik yang terdapat
di KUHP, yang termasuk dalam Delik Formil, sebagai berikut :
·
Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan
·
Pasal 209 KUHP tentang Penyuapan
·
Pasal 242 KUHP tentang Sumpah Palsu
·
Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Pada pencurian misalnya, asal sudah
dipenuhi unsur dalam pasal 362 KUHP, tindak pidana sudah terjadi dan tidak
dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa rugi atau tidak,
merasa terancam kehidupannya atau tidak.
2.
Delik
Materil
Menurut
Drs. P.A.F. Lamintang,
“Delik materil ialah delik yang dianggap
telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang”
Disebut materil maksudnya ialah yang
menjadi pokok larangan tindak pidana ialah pada menimbulkan akibat tertentu,
disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat konstitutif. Titik beratnya
larangan adalah pada menimbulkan akibat, sedangkan wujud perbuatan apa yang
menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan.
Dalam hubungannya dengan selesainya
tindak pidana, maka untuk selesainya tindak pidana bukan tergantung pada
selesainya wujud perbuatan, tetapi bergantung pada apakah dari wujud perbuatan
itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum.
Adapun macam-macam delik yang terdapat
di KUHP, yang termasuk dalam Delik Materil, sebagai berikut :
1) Pasal
187 KUHP tentang Pembakaran dan sebagainya,
2) Pasal
338 KUHP tentang Pembunuhan
3) Pasal
378 KUHP tentang Penipuan
Harus timbul akibat-akibat seperti kebakaran,
matinya si korban, pemberian suatu barang.
D. DELIK ADUAN DAN DELIK UMUM
1). Delik Aduan
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut,
jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya
pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang
dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan delik aduan (klach delict)
merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada atau
tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang
dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini
membicarakan mengenai kepentingan korban.
Dalam ilmu hukum pidana delik aduan ini ada dua macam,
yaitu :
1. Delik
Aduan absolute (absolute klacht delict)
2. Delik
aduan relative (relatieve klacht delict)
1. Delik Aduan absolute (absolute klacht delict)
Merupakan
suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang
dirugikan. Dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau
kejahatannya saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan
perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang
dilakukan. Oleh karena itu delik aduan absolute ini mempunyai akibat hukum
dalam masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar.
Contoh : A dan B adalah suami istri. B berzinah dengan C dan D. Dan A hanya mengadukan B telah melakukan perbuatan perzinahan. Namun, karena tidak dapat dipisahkan/onsplitbaar maka tidak hanya B saja yang dianggap sebagai pelaku, tetapi setiap orang yang terlibat suatu perbuatan atau kejahatan yang bersangkutan yaitu C dan D secara otomatis (sesuai hasil penyelidikan) harus diadukan pula oleh A. Setidaknya delik perzinahan tidak dapat diajukan hanya terhadap dader/mededader saja, melainkan harus keduanya dan pihak lain yang terlibat.
Adapun macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam Delik Aduan Absolut, sebagai berikut :
Ø Pasal 284 KUHP, tentang perzinahan.
Contoh : A dan B adalah suami istri. B berzinah dengan C dan D. Dan A hanya mengadukan B telah melakukan perbuatan perzinahan. Namun, karena tidak dapat dipisahkan/onsplitbaar maka tidak hanya B saja yang dianggap sebagai pelaku, tetapi setiap orang yang terlibat suatu perbuatan atau kejahatan yang bersangkutan yaitu C dan D secara otomatis (sesuai hasil penyelidikan) harus diadukan pula oleh A. Setidaknya delik perzinahan tidak dapat diajukan hanya terhadap dader/mededader saja, melainkan harus keduanya dan pihak lain yang terlibat.
Adapun macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam Delik Aduan Absolut, sebagai berikut :
Ø Pasal 284 KUHP, tentang perzinahan.
Ø Pasal 287 KUHP, bersetubuh di luar perkawinan
dengan seorang wanita berumur di bawah lima belas tahun atau belum waktunya
untuk kawin.
Ø Pasal 293-294 KUHP, tentang
perbuatan cabul.
Ø Pasal 310-319 KUHP
(kecuali pasal 316), tentang penghinaan.
Ø Pasal 320-321 KUHP,
penghinaan terhadap orang yang telah meninggal dunia.
Ø Pasal 322-323 KUHP,
perbuatan membuka rahasia.
Ø Pasal 332 KUHP,
melarikan wanita.
Ø Pasal 335 ayat (1)
butir 2, tentang pengancaman terhadap kebebasan individu.
Ø Pasal 485 KUHP,
tentang delik pers.
2.
Delik aduan relative
(relatieve klacht delict)
Yakni
merupakan suatu delik yang awalnya adalah delik biasa, namun karena ada
hubungan istimewa/keluarga yang dekat sekali antara si korban dan si pelaku
atau si pembantu kejahatan itu, maka sifatnya berubah menjadi delik aduan atau
hanya dapat dituntut jika diadukan oleh pihak korban.
Dalam
delik ini, yang diadukan hanya orangnya saja sehingga yang dilakukan penuntutan
sebatas orang yang diadukan saja meskipun dalam perkara tersebut terlibat
beberapa orang lain. Dan agar orang lain itu dapat dituntut maka harus ada
pengaduan kembali. Dari sini, maka delik aduan relative dapat
dipisah-pisahkan/splitsbaar.
Contoh
: A adalah orang tua. B adalah anaknya. Dan C adalah keponakannya. B dan C
bekerjasama untuk mencuri uang di lemari A. Dalam perkara ini jika A hanya
mengadukan C saja maka hanya C sajalah yang dituntut, sedangkan B tidak.
Dari
kasus di atas bisa dilihat bahwa delik aduan relative ini seolah bisa memilh
siapa yang ingin diadukan ke kepolisian. A karena orang tua dari B, maka ia
tidak ingin anaknya yaitu B terkena hukuman pidana, dia hanya memilih C untuk
diadukan, bisa karena dengan pertimbangan C bukanlah anaknya. Namun jka kita
bandingkan dengan contoh kasus pada delik aduan absolute, dalam kasus
perzinahan itu, walau si A hanya kesal dengan salah satu pelaku perzinahan itu,
ia tidak bisa hanya mengadukan orang itu saja, karena bagaimanapun konsekuensinya,
pihak lain yang terlibat juga dianggap sebagai pelaku.
Adapun
macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam Delik Aduan
Relatif, sebagai berikut :
1.
Pasal
367 ayat (2) KUHP, tentang pencurian dalam keluarga.
2.
Pasal
370 KUHP, tentang pemerasan dan pengancaman dalam keluarga.
3.
Pasal
376 KUHP, tentang penggelapan dalam keluarga
4.
Pasal
394 KUHP, tentang penipuan dalam keluarga.
5.
Pasal
411 KUHP, tentang perusakan barang dalam keluarga.
2) Delik
Biasa
Suatu perkara tindak pidana yang dapat di proses tanpa
adanya persetujuan atau laporan dari pihak yang di rugikan (korban). Didalam
delik biasa walaupun korban telah berdamai dengan tersangka, proses hukum tidak
dapat di hentikan. Proses Hukumnya tetap berjalan sampai di pengadilan.
Seperti Pasal 338 dan 362 KUHP apa bila tindak pidana
tersebut terjerat pasal 338 atau 362 KUHP maka proses hukumnya harus tetap
berjalan
Contoh: Penganiayaan,
pembunuhan, perampokan.
F. KESENGAJAAN
DAN KELALAIAN
I. Kesengajaan
A. Pengertian Kesengajaan
Seperti yang
telah disebutkan diatas bahwa kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan
bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang
lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa).
Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya
kesenggajaan daripada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu,
jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal
jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya
penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain
sebagainya.
Lalu apa itu
yang disebut dengan kesenggajaan? KUHP kita tidak memberi definisi mengenai hal
tersebut. Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas
ditentukan: “Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan
menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.
Petunjuk untuk
dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van
Toelichting), yaitu “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada
barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan
diketahui”. Dalam pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai
: “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang
yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta
menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan,
bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang
melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu
mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan
timbul daripadanya.
B. Teori-Teori Kesengajaan
Berhubung dengan
keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi “menghendaki dan
mengetahui” itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut 2 (dua)
teori sebagai berikut:
1)
Teori
kehendak (wilstheorie)
Teori kehendak
diajarkan oleh Von Hippel (Jerman) dengan karangannya tentang “Die Grenze von
Vorzatz und Fahrlassigkeit” 1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak
untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari
perbuatan itu, dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan yang
tertentu, maka kehendak orang tersebut adalah menimbulkan akibat atas
perbuatannya, karena ia melakukan perbuatan itu justru karena ia menghendaki
akibatnya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.
Teori
tentang kehendak terbagi menjadi 2 (dua) ajaran, yaitu:
a.
Determinisme, berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kehendak bebas. Manusia melakukan suatu perbuatan didorong oleh
beberapa hal, baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya;
b.
Indeterminisme, aliran ini muncul sebagai reaksi
dari aliran determinasi, yang menyatakan bahwa walaupun untuk melakukan sesuatu
perbuatan dipengaruhi oleh bakat dan milieu, manusia dapat menentukan
kehendaknya secara bebas;
Aliran
Determinisme tidak dapat diterapkan dalam hukum pidana karena akan menimbulkan
kesulitan dalam hal pertanggungjawaban. Sehingga muncul Determinisme Moldern
yang menyatakan bahwa Manusia adalah anggota masyarakat, dan sebagai anggota
masyarakat apabila melanggar ketertiban umum, maka ia bertanggungjawab atas perbuatannya.
2) Teori
pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)
Teori pengetahuan/dapat
membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank(Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner
Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat
atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu
dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka
terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai. Untuk memperjelas teori ini, umumnya
digunakan ilustrasi : seseorang yang hendak membunuh orang lain, lalu
menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran orang yang dituju,
maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya
belum tentu timbul sebagaimana kehendak orang tersebut, misal saja karena
pelurunya meleset justru mengenai orang lain yang tidak dituju.
Oleh karena itu menurut teori pengetahuan,
pelaku tindak pidana tidak harus menghendaki akibat perbuatannya melainkan
hanya dapat membayangkan/menyangka (voorstellen)
bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul sudah cukup untuk menyatakan pelaku
“menghendaki dan mengetahui”.
C. Bentuk atau Corak Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan
sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin,
yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut:
1.
Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)
untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus).
Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat
yang dilarang.
2.
Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met
zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn).
Dalam hal ini perbuatan berakibat yang
dituju namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai
tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.
3.
Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis
atau voorwaardelijk-opzet).
Dalam hal ini keadaan tertentu yang
semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh: meracuni seorang
bapak, yang kena anaknya.
D. Sifat Kesengajaan
Kesengajaan memiliki 2 (dua) sifat, yaitu:
Sebagai penguat teori
kesengajaan, dapat pula ditinjau berdasarkan sifatnya, dimana kesengajaan
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu kesengajaan berwarna (gekleurd) dan kesengajaan tidak berwarna (kleurloos).
1.
Kesengajaan
berwarna (gekleurd)
Sifat
kesengajaan dikatakan berwarna bilamana kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan
mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi
harus ada hubungan antara keadaan batin pelaku dengan sifat melawan hukumnya
perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya untuk menyatakan adanya
kesengajaan untuk berbuat jahat di perlukan syarat, bahwa pada saat melakukan
perbuatan pidana, si pelaku ada kesadaran bahwa perbuatannya dilarang dan/atau
dapat dipidana. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa :
“Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan
lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan
hukumnya perbuatan”. Sistem hukum Indonesia tidak menganut teori kesengajaan
ini.
2.
Kesengajaan
tidak berwarna (kleurloos)
Kalau
dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti bahwa untuk
adanya kesengajaan pelaku perbuatan yang dilarang/dipidana tidak disyaratkan bahwa
Ia perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/sifat melawan hukum. Dapat saja si
pelaku dikatakan telah berbuat dengan sengaja, walaupun ia tidak mengetahui
bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum.
Di
Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna karena di Indonesia
menganut doktrin fiksi hukum. Fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua
orang tahu hukum (presumptio
iures de iure). Semua orang dianggap tahu hukum, tak terkecuali
petani yang tak lulus sekolah dasar, atau warga yang tinggal di pedalaman.
Dalam bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia
jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan.
Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau
tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu.
Mungkin ada yang merasa ini tidak adil, tapi itu hak anda sedangkan yang saya
jelaskan adalah fakta yang terjadi.
Berdasarkan uraian
teori kesengajaan dan sifatnya maka dapat disimpulkan sistem hukum pidana kita
(KUHP) menganut Teori pengetahuan/membayangkan (voorstellingtheorie) dan Kesengajaan tidak
berwarna (kleurloos)
dalam menentukan kesengajaan dalam perbuatan pidana. Untuk menilai apakah
pelaku tindak pidana sengaja melakukan perbuatannya adalah dengan menilai apakah
pelaku membayangkan/menyangka (voorstellen)
akibat dari perbuatannya tersebut, tidak menjadi masalah apakah akibat
perbuatannya sesuai dengan bayangan ataupun sangkaan ataupun tujuan pelaku, dan
juga tidak menjadi masalah apakah pelaku tahu perbuatan tersebut melanggar
hukum ataupun tidak. Kalimat sederhananya adalah bila pelaku tindak pidana tahu
apa yang dilakukan dan juga akibat perbuatannya walaupun tidak sesuai dengan
tujuan yang dimaksud maka pelaku sudah secara sengaja melakukan perbuatan tindak
pidana tersebut. Sesederhana itu saja.
E. Macam Kesengajaan
Dalam doktrin ilmu hukum pidana,
kesengajaan (dolus) mengenal berbagai macam kesenggajaan, antara lain:
1. Aberratio ictus,
yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk
tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
- Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
- Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek,
misalnya menghendaki matinya.
- Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian
objek, misalnya menembak segerombolan orang.
- Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan
satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
- Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada
perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya.
- Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua
akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga
atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan
sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain,
kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal
Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini).
F. Jenis Kesengajaan
a) Kesengajaan yang Bersifat Tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang
bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat
dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesenjangan seperti ini ada pada suau
tindakan pidana, si pelaku pantas dikenakan hukum pidana karena dengan adanya
kesenjangan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelau benar-benar menghendaki
mencapai suatu akibat yang menjadi di pokok alasan diadakannya ancaman hukuman
ini.
b) Kesengajaan secara Keinsyafan
Kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si
pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi
dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatan itu. Dengan kata lain, bahwa perbuatannya pasti akan menimbulkan
akibat lain. Tapi pelaku mengambil resiko terjadinya akibat lain demi tercapai
akibat utidak diserta bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bama.
c) Kesengajaan secara Keinsyafan
Kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terangan
tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadiakibat yang bersangkutan,
melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
II.
Kealpaan
(culpa)
A.
Pengertian Kealpaan
Kealpaan, seperti juga kesengajaan
adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih
rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa
kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan,
sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat
memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran untuk
membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan
kealpaan berat (culpa lata).
Perkataan culpa dalam arti
luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk
kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur
kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan
orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang
sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi. Oleh karena itu,
undang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono
(teledor), dan pendek kata schuld (kealpaan yang menyebabkan keadaan
seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu tindak pidana diliputi kealpaan,
manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang
penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan
menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati.
Pengertian
kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan berbagai referensi
yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih mudah dalam memahami
tentang “kealpaan” ada baiknya dikemukakan dalam bentuk contoh simpel seperti
tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam rumah yang terbuat dari
jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran. Tidak membuat tanda-tanda pada
tanah yang digali, sehingga ada orang yang terjatuh ke dalamnya, dsb.
Dalam M.v.T (Memorie
van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku
terdapat:
1.
Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
- Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
- Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.
B.
Bentuk-Bentuk Kealpaan
Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas:
1.
Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan
beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya
tidak akan terjadi
2.
Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak
menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia
dapat menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari
itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali
justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi
akibat yang sangat berat. Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari
itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang
ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan
ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian yang normatif
bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip).
Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari
situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.
Oleh Vos (Bambang Poerrnomo 1992: 174) dinyatakan bahwa
culpa mempunyai dua elemen yaitu:
a.
Tidak mengadakan penduga-duga
terhadap akibat bagi si pembuat (voorzien-baarheid);
b.
Tidak mengadakan penghati-hati
mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat (onvoorzictigheid).
Mengenai isi kealpaan yang pertama
bahwa mengadakan penduga-duga terhadap akibat, berarti disini harus diletakkan
adanya hubungan antara batin terdakwa dengan akibat yang timbul, bahkan perlu
dicari hubungan kasual antara perbuatan terdakwa dengan akibat yang dilarang.
Mengenai kurang/tidak mengadakan
penghati-hati apa yang diperbuat itu, oleh Vos (Bambang Poenormo 1992: 175),
diadakan perincian adanya dua hal yang diperlukan yaitu:
a.
Pembuat tidak berbuat secara
hati-hati menurut yang semestinya (tukang cat membersihkan pakaian kerja dengan
bensin dekat dapur);
b.
Pembuat telah berbuar dengan
hati-hati, akan tetapi perbuatanya pada pokoknya tidak boleh dilakukan
(seseorang membuat mercon dengan sangat hati-hati, namun toh terjadi juga
kebakaran).
Timbul pertanyaan sampai dimana
adanya kurang berhati-hati sehingga si pelaku harus dihukum. Hal kesengajaan
tidak menimbulkan pertanyaan ini karena kesengajaan adalah berupa suatu keadaan
batin yang tegas dari seorang pelaku. Lain halnya dengan kurang berhati-hati
yang sifatnya bertingkat-tingkat. Ada orang yang dalam melakukan sesuatu
pekerjaan sangat berhati-hati, ada juga yang tidak berhati-hati, ada juag
kurang berhati-hati, sehingga menjadi serampangang atau ugal-ugalan.
Menurut Memorie van Toelichting atau
risalah penjelasan Undang-Undang, culpa itu terletak antara sengaja dan
kebetulan, Rusli Effendy (1989: 85) Jurisprudensi menginterprestasikan culpa
sebagai”kurang mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati”.
G. TIPIKOR
1. Pengertian Korupsi
Korupsi
berasal dari kata Latin “Corruptio” atau “Corruptus” yang kemudian muncul dalam
bahasa Inggris dan Prancis “Corruption”, dalam bahasa Belanda “Korruptie” dan
selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “Korupsi” (Dr. Andi Hamzah,
S.H., 1985: 143). Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk (John M.
Echols dan Hassan Shadily, 1977: 149), sedangkan A.I.N Kramer ST.
menerjemahkannya sebagai busuk, rusak, atau dapat disuapi (A.I.N. Kramer ST.
1997: 62). Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat
perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.
Korupsi
dikenal pembuktian terbalik terbatas yaitu orang yang diteriksa harta bendanya
oleh pengadilan tinggi wajib memberikan keterangan secukupnya yaitu mengenai
harta benda sendiri dan harta benda orang lain yang dipandang erat hubungannnya
menurut ketentuan pengadilan tinggi. Jika membicarakan tentang korupsi memang
akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral,
sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah,
penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan
politik, serta penempatan keluarga atau golongan di bawah kekuasaan jabatannya.
Dengan
demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah
korupsi memiliki arti yang sangat luas. Yaitu penyelewengan atau penggelapan
(uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan
orang lain.
Sedangkan
menurut undang-undang korupsi diartikan :
1.
Barang siapa dengan melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara
langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau
perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
2.
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara
langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3);
3.
Barang siapa melakukan kejahatan yang
tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425,
435 KUHP.
2. Sejarah UU Tipikor Di Indonesia
Peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1.
Undang-undang nomor 24 tahun 1960 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi,
2.
Undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi,
3.
Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi,
4.
Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi,
3. Pertanggung Jawaban Pidana Pada Perkara
Tindak Pidana Korupsi
Dalam
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1.
Korporasi
adalah kumpulan orang
dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
2.
Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang kepegawaian;
b. pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c. orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang
yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau
e. orang
yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap
orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
4.
Penjatuhan
Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31
Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang
dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai
berikut :
1. Terhadap
Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
a.
Pidana Mati, Dapat dipidana mati karena
kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu
b.
Pidana Penjara
ü Pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
ü Pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara (Pasal 3)
ü Pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
korupsi. (Pasal 21)
ü Pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi
setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal
36.
c.
Pidana Tambahan
ü Perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
ü Pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi.
ü Penutupan
seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
ü Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terpidana.
ü Jika
terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka
harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut.
ü Dalam
hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi
ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31
tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan.
2. Terhadap
Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah
pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan
pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31
tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
ü Dalam
hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
ü Tindak
pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
ü Dalam
hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan
kepada orang lain.
ü Hakim
dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan
dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding
pengadilan.
ü Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
Comments
Post a Comment