CIVIL LAW (HUKUM SIPIL)
a.
Pengertian
civil law
Hukum
sipil adalah sistem
hukum yang diilhami
dari hukum
Romawi dengan ciri
ditulis dalam suatu kumpulan, dikodifikasi, dan tidak dibuat oleh hakim.[1]
Secara
konseptual, sistem ini merupakan sekumpulan gagasan dan sistem hukum yang
berasal dari Codex
Yustinianus, namun
juga banyak dipengaruhi oleh hukum Jermanik Awal, gereja, feudal, praktik lokal,[2] serta kecenderungan doktrinal seperti
hukum kodrat, kodifikasi, dan positivisme hukum.
Hukum
sipil bersifat abstrak. Asas-asas umum dirumuskan, dan perbedaan antara hukum substantif
dengan prosedural
ditekankan.[3] Dalam sistem ini legislasi dipandang
sebagai sumber hukum utama, dan sistem pengadilannya biasanya tidak terikat
dengan pendahulu (stare decisis) dan terdiri dari petugas-petugas
yudisial terlatih dengan kekuasaan penafsiran hukum yang terbatas.
Prinsip
hukum sipil adalah menyediakan kumpulan hukum yang tertulis dan dapat diakses
kepada semua penduduk. Sistem ini merupakan sistem hukum yang paling banyak
digunakan di dunia, kurang lebih di sekitar 150 negara.[4] Penjajahan menyebabkan penyebaran
hukum sipil yang akhirnya diterima di Amerika Latin serta sebagian Asia
dan Afrika.[5]
b. Karakteristik Civil Law System
Ciri pokok Civil Law adalah sistem ini menggunakan
pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum publik. Kategori seperti itu
tidak dikenal dalam sistem Common Law.[1][2]
Menurut Nurul Qamar dalam bukunya Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System
(hal. 40):
Ciri atau Karakteristik Sistem Civil Law adalah:
1. Adanya sistem kodifikasi
2. Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis, sehingga undang-undang menjadi rujukan hukumnya yang
utama.
3. Sistem peradilannya bersifat inkuisitorial
Ad.1 Adanya sistem kodifikasi
Alasan mengapa
sistem Civil Law menganut paham
kodifikasi adalah antara lain karena demi kepentingan politik Imperium Romawi,
di samping kepentingan-kepentingan lainnya di luar itu. Kodifikasi diperlukan
untuk menciptakan keseragaman hukum dalam dan di tengah-tengah keberagaman
hukum.[2][3] Agar kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan sebagai peraturan raja
supaya ditetapkan menjadi hukum yang berlaku secara umum, perlu dipikirkan
kesatuan hukum yang berkepastian. Pemikiran itu, solusinya adalah diperlukannya
suatu kodifikasi hukum.[3][4]
Ad. 2 Hakim Tidak Terikat pada Preseden
Nurul mengutip
pendapat Paul Scholten yang
mengatakan bahwa maksud pengorganisasian organ-organ negara Belanda tentang
adanya pemisahaan antar kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan peradilan
dan sistem kasasi serta kekuasaan eksekutif, dan tidak dimungkinkannya
kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan lainnya, dengan cara tersebut
maka terbentuklah yurisprudensi.[4][5]
Ad. 3 Peradilan Menganut Sistem Inkuisitorial
Dalam sistem
ini hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutus suatu
perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan cermat dalam
menilai bukti.[5][6]
Hakim di dalam
sistem Civil Law berusaha untuk
mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapainya sejak awal.
Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.[6][7]
c. Sumber Hukum
Sumber hukum utama dalam
sistem ini adalah undang-undang yang merupakan kumpulan pasal-pasal sistematis
yang saling berhubungan yang disusun berdasarkan subjek[6] dan
yang menjelaskan asas-asas hukum, hak, kewajiban, dan mekanisme hukum dasar.
Undang-undang biasanya dibuat oleh legislatif.
Bentuk-bentuk sumber hukum
dalam arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan
perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam rangka
menemukan keadilan, para yuris dan lembaga-lembaga yudisial maupun
quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber tersebut. Dari sumber-sumber itu,
yang menjadi rujukan pertama dalam tradisi sistem hukum Civil Law adalah
peraturan perundang-undangan. Negara-negara penganut civil law menempatkan
konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan.
Semua negara penganut civil law mempunyai konstitusi tertulis.
Peraturan perundang-undangan
mempunyai dua karakteristik, yaitu berlaku umum dan isinya mengikat keluar.
Sifat yang berlaku umum itulah yang membedakan antara perundang-undangan dan
penetapan. Penetapan berlaku secara individual tetapi harus dihormati oleh
orang lain. Sebagai contoh penetapan, misalnya, pemberian grasi oleh Presiden
Republik Indonesia melalui suatu keputusan presiden ( Keppres ) kepada seorang
terpidana yang putusan pemidanaannya telah memiliki kekuatan yang tetap.
Sumber hukum yang kedua yang dirujuk oleh para yuris di negara-negara penganut Civil Law dalam memecahkan masalah adalah kebiasaan-kebiasaan. Pada kenyataannya, undang-undang tidak pernah lengkap. Kehidupan masyarakat begitu kompleks sehingga undang-undang tidak mungkin dapat menjangkau semua aspek kehidupan tersebut. Sedangkan dilain pihak, dibutuhkan aturan-aturan yang dijadikan pedoman manusia dalam bertingkah laku untuk hidup bermasyarakat. Dalam hal inilah dibutuhkan hukum kebiasaan.
Sumber hukum yang kedua yang dirujuk oleh para yuris di negara-negara penganut Civil Law dalam memecahkan masalah adalah kebiasaan-kebiasaan. Pada kenyataannya, undang-undang tidak pernah lengkap. Kehidupan masyarakat begitu kompleks sehingga undang-undang tidak mungkin dapat menjangkau semua aspek kehidupan tersebut. Sedangkan dilain pihak, dibutuhkan aturan-aturan yang dijadikan pedoman manusia dalam bertingkah laku untuk hidup bermasyarakat. Dalam hal inilah dibutuhkan hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber hukum
bukanlah kebiasaan, melainkan hukum kebiasaan. Kebiasaan tidak mempunyai
kekuatan mengikat. Agar kebiasaan menjadi hukum kebiasaan diperlukan dua hal,
yaitu tindakan itu dilakukan secara berulang-ulang ( usus ) dan adanya unsur
psikologis mengenai pengakuan bahwa apa yang dilakukan secara terus-menerus dan
berulang-ulang itu aturan hukum. Unsur ini mempunyai relevansi yuridis, yaitu
tindakan itu bukan sekadar dilakukan secara berulang-ulang, melainkan tindakan
itu harus disebabkan oleh suatu kewajiban hukum yang menurut pengalaman manusia
harus dilakukan. Unsur psikologis itu dalam bahasa latin disebut Opinio
Necessitatis, yang berarti pendapat mengenai keharusan bahwa orang bertindak
sesuai dengan norma yang berlaku akibat adanya kewajiban hukum.
Sumber hukum yang ketiga
yang dirujuk dalam sistem hukum Civil Law adalah yurisprudensi. Ketika
mengemukakan bahwa suatu hukum kebiasaan berlaku bagi semua anggota masyarakat
secara tidak langsung, melainkan melalui yurisprudensi, Spruit sebenarnya
mengakui bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam arti formal. Akan
tetapi posisi yurisprudensi sebagai sumber hukum di dalam sistem hukum Civil
Law belum lama diterima. Hal itu disebabkan oleh pandangan bahwa aturan-aturan
tingkah laku, terutama aturan perundang-undangan, ditujuka untuk mengatur
situasi yang ada dan menghindari konflik; dengan demikian, aturan-aturan itu
dibuat untuk hal-hal setelah undang-undang itu diundangkan. Undang-undang dalam
hal demikian merupakan suatu pedoman mengenai apa yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan.
d. Negara yang menerapkan
Negara
|
Deskripsi
|
didasarkan pada Sistem hukum Romawi yang dikodifikasikan, dengan unsur-unsur dari kode
hukum Napoleon.
|
|
mengikuti sistem hukum Eropa, dengan pengaruh
Inggris-Amerika.
|
|
Umumnya dipengaruhi oleh Jerman, sebagian pengaruh
sistem hukum Rusia dan Soviet.
|
|
didaasrkan pada sistem hukum Portugal yang didasarkan
pada tradisi daratan Eropa, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh Jerman,
juga dipengaruhi oleh Sistem hukum di RRT
|
|
Mulanya didasarkan pada Hukum
Romawi dan akhirnya berkembang ke Kode Hukum Rohan, Codex Napoleon dengan pengaruh dari Sistem hukum Italia. Namun Common law Britania juga merupakan sumber dari Sistem hukum Malta, yaitu Hukum publik
|
|
didasarkan pada Sistem hukum sipil; yang diambil
dari prinsip-prinsip hukum sipil Soviet dan daratan Eropa.
|
|
didasarkan pada Sistem hukum Romawi yang
dikodifikasikan
|
SUMBER :
Sumbernya minta min
ReplyDelete