Tuntunan Ibadah
Haji
Sungguh Allah Ta’ala tidaklah
menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata,
sebagaimana firman-Nya: وما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan …
Sungguh
Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk
menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:
وما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.
Adz dzariyat:56)
kemudian
untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat
menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala,
maka dengan hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa
dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah
tersebut merupakan petunjuk yang jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan
diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha Bijaksana menetapkan ibadah Haji ke
Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan
ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan merupakan
salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan
ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang
bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan
suatu tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu
adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai
seorang muslim yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat untuk
mempelajarinya kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan,
kemudahan dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.
Dari
sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang Allah Ta’ala karuniakan
dari hal-hal yang berhubungan dengan ibadah yang mulia ini, sebuah ibadah yang
selalu diharap-harap dan dicita-citakan kaum muslimin yang berpegang teguh
dengan agamanya, mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat
pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan sebagian para
jama’ah haji serta dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi mereka yang akan
menunaikannya dan mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang
kecil ini sebagai bekal bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari yang
tidak ada pertolongan dan belas kasihan kecuali dari-Nya yang Maha Kuasa lagi
Maha Adil dan Maha Bijaksana.
1. Definisi Haji
a.
Secara Etimologi
Kata
haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua
lafazh Al-hajj dan Al-Hijj [1]
b.
Secara terminologi syariat
Haji
menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan
manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam [2]
dan ada pula ulama yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke
tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang
tertentu pula[3].
Akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang
didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu
ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.
2. Dalil Pensyari’atannya
Haji
merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana
telah digariskan dan ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.
Adapun
dalil dari Al-Qur’an:
ولله على
الناس حج
البيت من
استطاع إليه
سبيلاً ومن
كفر فإن
الله غني
عن العـالمين
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran, 97)
dan
firman Allah Ta’ala
وأتموا
الحج والعمرة
لله فإن
أحصرتم فما
استيسر من
الهدي ولا
تحلقوا رؤوسكم
حتى يبلغ
الهدي محلة
فمن كان
منكم مريضًا
أو به
أذًى من
رأسه ففدية
من صيام
أو صدقة
أو نسك
فإذا أمنتم
فمن تمتع
بالعمرة إلى
الحج فما
استيسر من
الهدي فمن
لم يجد
فصيام ثلاثة
أيام فى
الحج وسبعة
إذا رجعتم
تلك عشرة
كاملة ذلك
لمن لم
يكن أهله
حاضرى المسجد
الحرام واتقوا
الله واعلموا
أن الله
شديد العقاب
“Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah
didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa,
atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji),
(wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan
(binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa
haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh
(hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang
bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa
Allah sangat keras siksa-Nya.”
(QS. Al-Baqarah,196)
Dalil
dari As-Sunnah:
Hadits
yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
فقال
يأأيها الناس
قد فرض
الله عليكم
الحج فحجواrخطبنا
رسول الله
“Telah
berkhutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami dan berkata:
“Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian
untuk berhaji, maka berhajilah kalian.” (HR.
Muslim)
Dan
hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان
“Islam
itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat,berhaji ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalil
ijma’ (konsesus) para Ulama’
Para
ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
sampai sekarang telah bersepakat bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib.[4]
3. Syarat-syarat haji
Haji
diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:
1.
Islam
2.
Berakal
3.
Baligh
4.
Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan
5.
Merdeka
4. Miqat-miqat untuk haji
Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan
ditetapkan oleh syari’at untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu.[5]
Dan haji memiliki dua miqat yaitu miqat zamani dan makani.
Adapun miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal
menurut kosensus para ulama, akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang
kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi menjadi tiga pendapat yang
masyhur yaitu:
1.Syawal,
Dzul Qa’dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu
Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab
hanbali.
2.Syawal,
Dzul Qa’dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi’i.
3.Syawal,
Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah
Dan
yang rajih –wallahu’alam– bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk
bulan haji dengan dalil firman Allah Ta’ala:
الحج أشهر
معلومات فمن
فرض فيهن
الحج فلا
رفث ولا
فسوق ولا
جدال فى
الحج
“(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat
kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al-Baqarah, 197)
dan
firman Allah Ta’ala :
وأذان من
الله ورسوله
إلى الناس
يوم الحج
الأكبر أن
الله بريء
من المشركين
“Dan
(inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari
haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
orang-orang musyirikin.” (QS
At-Taubah 9:3)
Dalam
surat Al-Baqarah ini Allah Ta’ala berfirman (أشهر) dan bukan
dua bulan sepuluh hari atau dua bulan sembilan hari. padahal (أشهر)
jamak dari (شهر)
dan hal itu menunjukkan paling sedikit tiga bulan dan pada asalnya kata (شهر)
masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal ini kecuali dengan dalil
syar’i [6]
maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh mengakhirkan
suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.
Sebagai
contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak
dianggap sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram untuk Umrah.
Adapun
miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota
yang akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini
telah dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana
dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:
وقت لأهل
المدينة ذا
الحليفةrرسول
الله ولأهل
الشام الجحفة
ولأهل النجد
قرن ولأهل
اليمن يلملم
قال هن
لهن لمن
أتى عليهن
من غير
أهلهن ممن
كان يريد
الحج و
العمرة فمن
كان دونهن
مهله من
أهله وكذلك
أهل مكة
يهلون منها
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat bagi ahli Madinah Dzul
Hulaifah * dan bagi ahli Syam Al-Juhfah
dan bagi ahli Najd Qarn dan bagi ahli Yamam Yalamlam lalu
bersabda: “mereka (miqat-miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk
orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin
haji dan umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat tersebut,
maka tempat mereka dari ahlinya, dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji
(ihlal) dari tempatnya Makkah.”
(H.R Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i
5/94,95,96)
Dari
hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menerangkan
bahwa miqat ahli Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal
sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah tempat di Wadi Aqiq yang berjarak
enam mil atau 52/3 mil kurang seratus hasta[7] yang
setara kurang lebih 11 km. dari Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh
marhalah atau kurang lebih 430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km. Dan miqat
penduduk Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu tempat yang sejajar
dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh
(tempat yang sejajar dengannya) dengan makkah adalah lima marhalah atau
sekitar 201 Km, dan berkata sebagian ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena
banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari Syam
mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga
sebagai miqat penduduk Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti
Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan berlabuh di
Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melalui Yalamlam
maka miqat mereka adalah miqat ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam
yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa’diyah adalah bukit yang memisahkan
Tuhamah dengan As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari Makkah,
dan berkata sebagian ulama sekitar 92 km.
Demikian
pula miqat penduduk Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul
Tsa’alib, yaitu sebuah bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz.
Jaraknya dari makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. dan berkata sebagian
ulama sekitar 75 Km*
demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya.[8]
Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat yang
sejajar denagn Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq
dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 km. Dan
miqat ini juga untuk penduduk Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para
ulama tetang penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasarkan dari
perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar bin
Khaththab Radhiallahu’anhu?
a.
Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabilah yang menetapkannya sebagaimana dalan
hadits Abu Dawud dan An-Nasa’i dari ‘Aisyah beliau berkata:
أن رسول الله وقت لأهل العراق ذات العرق
“Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat ahli ‘Iraq adalah
Dzatul ‘irq” (H.R
Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6)[9]
b.
Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu yang
menetapkannya. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan
Kufah mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata
Umar Radhiallahu’anhu:
فانظروا حذوها من طريقكم
“Lihatlah
tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Mnazil) dari jalan kalian.” Lalu Umar menetapkan Dzatul ‘Irq (H.R
Bukhary 1/388) dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.
Yang
rajih –wallahu’alam– bahwa miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dan penetapan Umar tersebut bersesuian dengan apa yang telah
ditetapkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan ini adalah pendapatnya
Ibnu Qudamah.
Miqat-miqat
diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang
lewat melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati miqat
yang bukan miqatnya maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya: orang
Indonesia yang melewati Madinah dan tinggal disana satu atau dua hari kemudian
berangkat umrah atau haji maka wajib baginya untuk berihram dari Dzul
Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak
perlu pergi ke Qarnul Manazil atau Yalamlam akan
tetapi diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala untuk berihram dari Dzul
Hulaifah.kecuali ahli Syam yang melewati madinah dan Al-Juhfah,
maka ada perselisihan para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya
sampai ke Al-Juhfah,
a.
pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram mereka sampai
Al-Juhfah, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik.
Mereka berdalil bahwa seorang yang melewati dua miqat wajib baginya berihram
dari salah satu dari keduanya. Satu dari keduanya adalah cabang, yaitu Dzul
Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu Al-Juhfah
,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini yang dirajihkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukilkan Al-Ba’ly dalam Ikhtiyarat
al-Fiqhiyah halaman 117.
b.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul
Hulaifah karena zhahir hadits dari Ibnu Abbas diatas, dan ini adalah
pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah pendapat yang lebih hati-hati kerena
keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
ولمن أتى
عليهن من
غير أهلهن
“Dan
bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya” (Hadits Ibnu Abbas).
Adapun
mereka yang berada di antara miqat dengan makkah maka wajib berihram dari
tempat dia tetapkan niatnya untuk berhaji atau berumrah. Maka hal ini
menguatkan penduduk yang berada di antara Dzul Hulaifah dan Al-Juhfah seperti
penduduk ar-Rauha’, penduduk Badr dan Abyar al-Maasy untuk berihram dari tempat
mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk madinah kemudian bepergian ke
Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua hari kemudian ingin berumrah atau
berhaji maka miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya
adalah umrah atau haji maka hajatnya tersebut ikut asal tujuannya sehingga dia
ihram dari miqatnya yaitu Dzul Hulaifah. contohnya: Seorang mengatakan saya
ingin pergi umrah dan saya akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk
membeli barang-barang yang saya butuhkan, maka disini kepergiannya ke Jeddah
adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan tetapi kalau asal tujuannya
adalah pergi ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat penting kemudian
berkata: “Kalau dikendaki Alah dan saya mempunyai kesempatan, saya akan
berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan yaitu ke Jeddah. Maka dia
berihram di Jeddah dan jika dia memilliki dua tujuan yang sama kuat maka
diambil tujuan melaksanakan umrah sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah,
mereka berihram dari Makkah untuk berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka mereka
harus keluar tanah haram Makkah yang paling dekat. Dengan dalil hadits Ibnu
Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah ketika beliau berumrah setelah haji maka
Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh Abdurrahman bin Abi
Bakar untuk mengantarnya ke Tan’im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman,
beliau berkata:
أن أردف عائشة وأعمرها من التنعمrأمرني رسول الله (متفق عليه)
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam telah memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan
(Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan’im “(H.R
Mutafaq ‘alaih)
Demikianlah
miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari
rumah-rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar
tanah haram Makkah) yang terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang
tidak melewati miqat-miqat tersebut, maka wajib bagi mereka untuk berihram dari
tempat yang sejajar dengan miqat yang terdekat dari jalan yang dilewati
tersebut.
Kesimpulan
dari pembahasan ini bahwa mansia itu tidak lepas dari 3 keadaan:
1.
Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Harami atau al-Makki
maka dia berikhram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka
harus keluar dari haram dan berihram darinya.
2.
Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka
berihram dari tempatnya untuk berhaji dan berumrah.
3.
Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:
a.
Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat
b.
Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang
sejajar atau memilih miqat yang terdekat dengannya.
Adapun
seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:
1.
Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka
tidak boleh dia masuk makkah kecuali dalam keadaan berihram.
2.
Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para
ulama terbagi menjadi dua:
a.
Orang yang melewati miqat dan ingin masuk makkah wajib berihram baik ingin haji
dan umrah ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Berdalil
dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:
إنه لا يدخل إلا من كان محرمًا
“Sesungguhnya
tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali dalam keadaan berihram”.
Mereka
berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati miqat dengan
niat masuk makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian
juga Allah telah mengharamkan makkah dan keharaman tersebut mengharuskan
masuknya dengan cara yang khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang
lainnya.”
b.
Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak
berihram dan ini adalah madzhab Syafi’i.
Mereka
berdalil sebagai berikut:
Sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
لمن أراد الحج و العمرة (متفق عليه)
“Bagi
siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)
Di
sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah berihram
kepada orang yang berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan
bahwa selainnya dibolehkan tidak berihram jika ingin masuk makkah
Berhujjah
dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ke Makkah pada
fathul Makkah dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar)
Dan
yang rajih –wallahu’alam– adalah pendapat kedua yang membolehkan karena
asalnya adalah tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang
menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan
Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy.
Dari
pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari miqat-miqat yang telah
ditentukan oleh syar’i, lalu bagi mereka yang melewat miqat dan dia berniat
haji atau umrah dan belum berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:
1.
Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui miqat
beberapa jauh, kemudian kembali ke miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya
adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena dia telah berihram dari tempat
yang Allah perintahkan untuk berhram.
2.
Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia
tidak kembali ke miqat, masalah ini ada dua gambaran:
a.Dia
memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut
kehilangan haji kalau kembali dan lain sebagainya.
b.Tidak
memiliki udzur syar’i.
maka
hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia
telah kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari miqat.
3.
Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui miqat,
lalu kembali dan berihram lagi untuk kedua kali dari miqat maka dalam hal ini
ada lima pendapat ulama:
a.
Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat
malikiyah dan hanabillah.
b.
Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini
madzhab Syafi’iyah
c.
Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam
(sembelihan) dan kalau kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.
d.
Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari miqat, ini pendapat
Sa’id bin Jubair.
e.
Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan ats-Tsaury.
Pendapat
pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad
al-Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.
5. Jenis-jenis Manasik Haji
Jenis-jenis
manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:
1.
Ifrad
Ifrad
merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihram untuk haji
tanpa dibarengi dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus
berniat untuk haji saja, kemudian pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum,
apabila telah ber-thawaf maka dia tetap berpakaian ihram dan dalam
keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak dibebani
hadyu (sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali dan umrohnya dapat
dilakukan pada perjalanan yang lainnya.
Diantara
bentuk-bentuk Ifrad adalah:
a.
Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di Makkah sampai haji.
b.
Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang ketempat tinggalnya dan
setelah itu kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
2.
Tamattu’
Tamatu’
adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihram untuk haji
pada tahun itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu
(sembelihan). Oleh karena itu setelah thawaf dan sa’i dia
mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul Hijjah berihram untuk haji.
3.
Qiran
Qiran
adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu
(sembelhan) sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam, dan qiran ini memiliki tiga bentuk:
a.
Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan “لبيك عمرةً وحجًا ”
dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didatangi Jibril u
dan berkata:
صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة
“Shalatlah
di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)
b.
Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum
memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau
berihram untuk umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan
beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan perintah tersebut bukan merupakan
pembatalan umrah dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dalam hadits tersebut:
سعيك طوافك لحجك وعمرتك
“Cukuplah
bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R
Muslim no. 2925/132)
c.
Berihram untuk haji kemudan memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini
para ulama ada dua pendapat:
Boleh
dengan dalil hadits ‘Aisyah:
بالحجrأهل رسول الله
“Rasululloh
berihlal (ihrom) dengan haji”.
dan
hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:
صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة
“Shalatlah
di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)
دخل العمرة فى الحج إلى يوم القيامة
“telah
masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.
Dalil-dalil
ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.
Tidak
boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali. Berkata
Syaikhul Islam: “Dan seandainya dia berihram dengan haji kemudian memasukkan
umrah ke dalamnya, maka tidak boleh menurut pendapat yang rajih dan sebaliknya
dengan kesepakatan para ulama” [10]
Kemudian
berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita
simpulkan menjadi tiga pendapat:
1.
Tamattu’ lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas,
Ibnu Zubair, ‘Aisyah, Alhasan, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim,
Saalim, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan
pendapat yang masyhur dari madzhab hanbali dan satu daru dua pendapat Imam
Syafi’i.
2.
Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury
berhujjah dengan:
Hadits
Anas, beliau berkata:
أهل بها جميعًا: لبيك عمرة و حجًا، لبيك عمرة و حجًا (متفق عليه)rسمعت رسول الله
“Aku
mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik Umrotan wa hajjan’“
(Mutafaqun Alaih)
Hadits
Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang
umar lalu dia menanyakannya,maka beliau berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah
Nabimu” (HR Abu Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)
Perbuatan
Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya:
سمعت النبي يلبي بها جميعا فلم أكن أدع قول رسول الله لقولك (رواه البيهقي)
“Aku
mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan
meninggallkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu “(H.R Baihaqi)
Karena
pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak
membawa.
3.
Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari
Madzhab Syafi’i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah;
dengan hujjah:
- Hadits
Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam melakukan haji ifrad
- Karena
haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak
membutuhkan lebih utama dari yang membutuhkan.
- Amalan
Khulafaur Rasyidin
Sedangkan
yang rajih –wallahu’alam– adalah pendapat pertama dengan dalil:
a.
Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan
menginap disana , lalu setelah shalat subuh beliau berkata:
من شاء أن يجعلهاعمرة فلييجعلها عمرة
“Barang
siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah” (Mutafaqun Alaihi)
b.
Hadits Aisyah:
خرجنل
ولا
أريد
إلا
أنهrمع رسول الله
الحج،
فلما
قدما
مكة
تطوفنا
بالبيت
فأمر ما لم يكن ساق الهدييrرسول الله أن يحل، قالت فحل من لم يكن ساق الهدي و ناؤه لم يسقن اللهدي فاحللنا
“Kami
telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami melihat kecuali itu adalah
haji, ketika kami tiba di makkah kami thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah
memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul,
berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang tidak membawa hadyu dan
istri-istri beliatidak membawa hadyu maka mereka bertahalul ” (Mutafaqun ‘Alaih)
c.
Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan
sahabat-sahabatnya ketika selesai thawaf di ka’bah untuk tahalul dan
menjadikannya sebagai umrah.
Maka
perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu’ menujukkan bahwa tamattu’
lebih utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang
lebih utama.
d.
Sabda Raslullah Shallallahu’alaihi Wasallam
لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي و لجملتها عمرة
“Seandainya
saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan
membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah”.
(H.R Muslim Ahmad no. 6/175)
e.
Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada
para sahabatnya yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan
haji mereka umrah sebagaimana hadits Aisyah:
فدخل علي و هو غضبان فقلت: من اغضبا يا رسول الله اخله الله النار؟ قال أوما شعرت أني أمرت الناس بأمر فإذا هم يترددون
“Maka
masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang
membuatmu marah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu,
aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang.
(ragu dalam melaksanakannya) “(H.R
Muslim)
Maka
jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang
lainnya, Wallahu’alam.
Sedangkan
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan
keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) maka qiran lebih
utama, dan apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bulan haji maka ifrad
lebih utama dan selainnya tama Radhiallahu’anhutu’ lebih utama. Beliau
berkata: “Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan satu perjalanan
umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum
bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka
dalam keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam
yang empat. Dan apabila dia mengerjakan apa yang telah dilakukan kebanyakan
orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu kali perjalanan dan
masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan ini qiran lebih utama
baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu maka,
ber-tahallul dari ihram untuk umrah lebih utama”[11] Kitab Manasik hal. 14
[Bersambung
insya Allah]
[1]
Al-Mughni, 5/5
[2]
Syarhul Mumti’, 7/7
[3]
Muzakirat Syarhul ‘Umdatil Fiqh, Kitab Haji wal Umrah hal.1
[4]
Lihat Al-Ijma, oleh Ibnul Mundzir hal 54 dan Al-Mughny 5/6
[5]
Lihat Syarhl Umdah oleh Ibnu Taimiyah 2/302
[6]
Lihat Syarhul Mumti’, 7/62-64 dan Syarah Umdatul Fiqh hal 14
*
dikenal sekarang dengan As-Sa’diyah
[7]
Syarah ‘Umdah oleh Ibnu Taimiyah 2/316
*
Dikenal sekarang dengan nama As-Sail al-Kabir.
[8]
Syarah Umdah Ibnu Taimiyah 2/316
[9]
Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Al Irwa’ 6/176
[10]
Al-Ikhtiyarat Fiqhiyyah, hal 117
[11]
Kitab Manasik hal. 14
Comments
Post a Comment