Skip to main content

CERPEN TEMA : AKU, KAU DAN BAHASA



Kau Ubah Diriku dengan Bahasa

Di suatu hari, ketika cakrawala senja bersinar dengan semburat oranyenya yang menawan, aku berdiri menatap langit. Mataku terpejam—menikmati hari-hari terakhirku berada di rumah sebelum aku berangkat menuju kampus kebanggan di Bintaro. Aku merenung, pastilah di kampus nanti banyak dijumpai mahasiswa dari berbagai daerah. Aku termasuk orang yang tidak pandai bersosialisasi dengan orang lain. Lalu, aku nanti harus bagaimana? Aku takut tidak punya banyak teman. Aku tidak mau hidup sendirian di perantauan. Pikiranku mulai berkecamuk dan kemudian aku memutuskan untuk pasrah saja.
Saat sudah tiba di Bintaro, aku tidak bisa bersosialisasi dengan siapapun, bahkan jika itu teman satu kos. Aku tidak berani mengajak mereka berkenalan, aku tidak tahu harus bicara apa. Dan karena itulah aku melakukan apapun sendirian. Beli makan sendiri, berangkat kuliahpun sendiri. Semua serba sendiri—menyusahkan. Awalnya aku merasa gugup ketika pertama kali masuk kelas. Aku takut jika teman-teman dikelasku sombong dan egois. Bersyukurlah apa yang kupikirkan salah, teman-temanku sangat ramah dan baik.
Namun, aku merasa hanya bisa dekat dengan orang yang sedaerah denganku saja, tidak dengan teman dari daerah lain. Padahal aku tahu betul, Indonesia tidak hanya satu daerah saja. Alasannya, aku tidak bisa berkomunikasi dengan baik kepada teman yang dari daerah lain karena cara berbicara dan berbahasa mereka pastilah tidak sama denganku. Aku takut tidak mengerti dan tidak dimengerti karena kami semua berbeda. Lagipula, aku lebih nyaman menggunakan bahasa daerahku sendiri. Tentunya bagi kita yang menggunakan bahasa daerah yang sama, akan lebih nyaman dalam berkomunikasi. Kupikir aku memang egois.
Suatu hari, setelah kuliah Pengantar Akuntansi, aku punya masalah. Kemudian aku bertanya tentang materi yang dijelaskan tadi kepada Diana—teman semejaku, tapi ternyata Diana juga tidak paham apa jawabannya. Seharusnya aku bertanya langsung kepada dosen ketika kuliah tadi, tapi itulah—karena aku tidak percaya diri dalam berkomunikasi, yang kulakukan hanyalah diam.
Ketika aku dan Diana masih sibuk berdebat tentang materi yang sulit tadi, seorang lelaki yang duduk di samping kananku menginterupsi, Namanya Darren. “Alisa, tolong dong, jangan bicara dalam bahasa daerah terus.”
Alis kiriku terangkat, “Kenapa memangnya?”
Dia menjawab, “Bukan hanya aku, tapi yang lain juga banyak yang bukan orang dari daerahmu. Kita nggak tahu apa yang kamu bicarakan. Kita merasa nggak dihargai karena kalian nggak berbicara dalam bahasa Indonesia.”
“Maaf ya, tapi aku dan Diana dari daerah yang sama. Kami lebih nyaman ngobrol memakai bahasa daerah kami.” Jawabku santai.
“Iya. Tapi apa kamu nggak tahu apa yang kita rasakan?” Darren menghela napas sebentar sebelum melanjutkan, “Kalian memang merasa nyaman, tapi kita nggak. Meskipun aku bertemu dengan sesama orang yang sedaerah denganku, kita nggak pakai bahasa daerah ketika berkomunikasi selama di kampus ini.”
“Tapi, Ren. Bukannya lebih nyaman kalau kamu dengan temanmu berbicara menggunakan bahasa daerah? Lagipula bukankah asyik jika teman yang lain tidak tahu apa yang kamu bicarakan?” Sahutku dengan cepat.
“Kalau kamu mikirnya begitu, maka kamu orang yang nggak punya perasaan, Lis.”
“Kok kamu bilang kaya gitu, sih?” Aku sedikit banyaknya tersinggung karena dia bilang aku nggak punya perasaan. Memangnya apa yang salah dari ucapanku.
“Kamu berpikir bahwa ketika orang lain nggak tahu apa yang sedang dibicarakan itu asyik. Tapi, Lis. Itu adalah tindakan yang egois. Siapa tahu aja kalian lagi menggosipi kami, kan kami tidak tahu.”
Aku mendengus. “Ya makanya jangan berpikiran yang negatif dong, Ren. Nggak usah ikut campur urusan aku kenapa?”
“Lho, sebagai teman kan harus saling mengingatkan, Lis.” Katanya halus.
“Terserah lah!” Aku mengambil tasku dan segera bangkit dari kursi. Aku berjalan menghentak dengan langkah lebar. Baru beberapa langkah kuambil, suara Darren menggema di ruang kelas yang ternyata sudah tidak ada orang selain kami.
“Setidaknya aku tahu apa yang kamu bicarakan, kalau kamu pakai bahasa Indonesia. Jadi aku nggak akan penasaran.” Langkahku terhenti mendengarnya.
Aku menoleh ke belakang. “Apa maksud kamu bicara kaya gitu?”
Dia tersenyum kecil. Senyum yang menyimpan banyak makna didalamnya—dan tak kuketahui apa artinya. Irisnya berkilau saat kutelusuri kedalam manik sebulat kelereng itu.
“Karena aku selalu ingin tahu, apa aja yang kamu bicarakan. Walaupun itu nggak penting sekalipun.” Aku menatap matanya lagi tanpa berkedip setelah mendengar ucapannya. Darren tersenyum padaku sebelum pergi keluar kelas. Menyisakan aku yang terdiam di kelas tanpa tahu maksud dari ucapannya.
.
Keesokan harinya, kuliah dimulai pukul tujuh lewat tigapuluh menit. Aku berangkat sendirian dari kos menuju gedung dimana kuliah hari ini dilaksanakan. Dan hari ini, kuliah dilaksanakan di gedung lain—karena ini adalah kelas pengganti. Aku tidak tahu dimana gedungnya berada. Saat sampai di pertigaan, aku tidak tahu harus kemana. Aku malu jika harus bertanya.
“Aduh, gimana ya. Aku nggak tahu jalannya kemana kalau mau ke Gedung I.” Kataku—lebih kepada diriku sendiri.
“Ayo bareng aku aja.” Aku segera berbalik badan setelah mendengar seseorang menyahuti ucapanku dan ternyata itu Darren. Aku berdehem canggung melihatnya.
“Aku tahu dimana tempatnya. Ayo.” Aku mengangguk dan kemudian berjalan dibelakangnya.
Dia tiba tiba berhenti. Hampir saja aku menabrak punggungnya. “Kok kamu jalan dibelakang sih? Aku bukan Raja yang dibuntutin dayang istana kaya drama yang sering kamu lihat.” Katanya melucu. Aku tertawa kecil kemudian berjalan disampingnya, menyejajarkan langkahku dengannya.
“Aku tahu kamu orangnya nggak pandai bersosialisasi sama yang lain, Lis.” Katanya tiba-tiba, membuatku langsung meliriknya dari samping.
“Aku tahu kamu orangnya pemalu. Tapi kalau kamu ada masalah, jangan sungkan kalau mau minta tolong sama orang lain.” Lanjutnya dengan serius. Aku merenungkannya dalam diam—Aku bingung mau jawab gimana.
“Untung aku tadi dengar apa yang kamu bilang. Kalau nggak, gimana? Kamu mau muter-muter sendirian?” Aku menggelengkan kepala dua kali. Dia tersenyum.
Dia lanjutin lagi. “Makanya ya, cintailah bahasa Indonesia seperti kamu mencintai bahasa daerahmu sendiri. Biasakan berbicara bahasa Indonesia setiap harinya.”
Aku menghela napas sejenak. “Sebenarnya itu susah, Ren. Aku kalau bicara pakai bahasa Indonesia jadi aneh, karena logat daerahku masih kental. Nanti kalau diketawain teman gimana? Apa kata teman nanti tentang aku. Aku kan malu.”
“Jadi, kamu orangnya suka memikirkan apa pandangan orang lain tentangmu ya?”
“Ya, begitulah, Ren.” Aku menunduk dalam, mataku berputar putar memandangi ujung sepatuku yang sangat tidak menarik untuk dilihat.
“Lis. Kalau kamu punya pikiran seperti itu, mending dibuang jauh-jauh deh. Gara-gara itu kamu jadi nggak percaya diri, karena setiap kamu akan melakukan sesuatu, kamu pasti bakalan mikirin dulu apa yang akan orang lain katakan tentangmu.”
Aku mendongak padanya, menatapnya dengan gurat putus asa. “Benar, Ren. Aku selalu merasa begitu, makanya takut kalau mau memulai pembicaraan, bertanya, atau berkomentar. Jadinya aku lebih banyak diam.”
“Setidaknya kamu kan udah berusaha, Lis. Oh, ya. Bahasa Indonesia dipelajari juga di negara maju seperti Jepang dan Australia lho. Di tingkat ASEAN pun penggunaan bahasa Indonesia udah sampai 60%. Dan lagi, acara pelantikan seorang wali kota di Amerika, Dana S. Hilliard, Wali Kota Somersworth mengucapkan sumpah ikrarnya dalam Bahasa Indonesia. Keren kan?”
“Wah, kok kamu tahu banyak sih, Ren? Aku bahkan baru dengar dari kamu.” Kataku—menatapnya dengan sebuncah kagum.
“Karena aku bangga dan cinta dengan Bahasa Indonesia. Kalau kamu mencintai sesuatu, kamu bakalan mencari tahu informasi berkaitan dengan hal tersebut kan?” Didalam ucapannya terselip sejuta kebanggaan. Andai seluruh pemuda di nusantara ini seperti Darren, betapa hebatnya negara ini di masa mendatang.
“Orang bangsa lain aja bangga menggunakan Bahasa Indonesia. Masa kamu yang orang asli Indonesia tidak bangga?” Lanjutnya lagi.
“Aku mau, Ren. Aku bangga kok dan aku akan membiasakan diri dengan bahasa Indonesia.” Kataku mantap. “Tapi... mungkin aku butuh waktu untuk bisa terbiasa.” Kataku memelan diakhir kata. Merasa tidak yakin, tapi ingin mencobanya.
“Nggak papa. Yang namanya belajar itu butuh waktu. Aku bakalan bantu kamu sebisaku. Makanya jangan pasif ya, kalau ada pertanyaan gitu langsung tanya aja. Dan lagi dengan menjadi aktif, kamu bisa belajar berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar, Lis. Kedepannya pasti kamu udah terbiasa.”
“Iya. Terimakasih banyak ya Ren. Kamu bisa memotivasiku untuk berubah. Aku bisa belajar banyak hal dari kamu.”
“Ayo belajar bersama.” Darren mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap matanya yang melengkung saat tersenyum. Di detik ke 5, tanpa ragu aku membalas uluran tangannya. Namun kemudian dia menggenggam tanganku dan menariknya untuk berlari menuju kelas bersama. Sadar atau tidak, kami sama-sama tersenyum saat berlari. Senyum yang hanya kita sendiri yang tahu maknanya.
Semenjak itu, aku sudah tidak malu memulai pembicaraan dengan teman dari daerah lain, bahkan kini kami bersahabat. Betul yang Darren bilang, yang penting kita itu percaya diri, dan nggak perlu mikirin gimana reaksi orang lain, tapi harus tetep berhati-hati dalam hal apapun. Dengan aktuf bertanya, aku bisa paham tentang materi tidak ku mengerti sebelumnya. Dan lagi aku bisa lebih lancar berbahasa Indonesia karena terbiasa menggunakannya. Semua itu perlu waktu dan usaha.
Aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan Darren, yang dengan beraninya menegurku, memberiku saran, dan memotivasiku untuk menjadi mahasiswa yang memiliki kecintaan dan kebanggan terhadap bahasa Indonesia.
Kamu hebat Darren, karena telah mengubahku hanya dengan bahasa.
Bahasa Indonesia.

Ini cerpen yang kubuat ikut Lomba Bulan Bahasa yang diadakan oleh BEM PKN STAN, tapi ga menang. Jelek soalnya, gapunya bakat juga.
but at least I've tried and give all my efforts on writing this short-fic xD

Comments

Popular posts from this blog

SOAL PPH TENTANG OBJEK PAJAK (BENAR SALAH DAN PILIHAN GANDA)

SOAL BENAR SALAH 1.        Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima/ diperoleh WP yang berasal dari dalam negeri yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dalam bentuk apapun. SALAH Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima/ diperoleh WP yang berasal dari dalam negeri yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dalam bentuk apapun. Penghasilan tidak hanya yang berasal dari dalam negeri saja, tapi juga dari luar negeri 2.        Harta hibah yang diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dikenai PPh Final. SALAH Harta hibah yang diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat tidak termasuk objek pajak penghasilan, jadi tidak dikenakan pajak. 3.       Iuran pensiun dibayar pemberi kerja termasuk bukan objek pajak. BENAR 4.       Bagi badan yang memiliki kepemilikan saham paling rendah

CONTOH ANALISIS SWOT PADA DIRI SENDIRI

ANALISIS SWOT PADA DIRI SENDIRI   Analisis SWOT merupakan salah satu analisis tentang factor internal dan eksternal pada saat ini secara deskriftif agar dapat menghadapi semua tantangan dan ancaman di masa yang akan datang serta dapat mempersiapkan diri untuk menyesuaikan perubahan lingkungan yang dapat mempengaruhi pencapaian harapan dan keinginan. SWOT adalah singkatan dari Strengths (kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunities dan Treat. 1.       S trengths Adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan yang dimiliki oleh seseorang, organisasi, atau sebuah program saat ini yang bisa berpengaruh positif di masa yang akan datang. Contoh strengths : 1)       Dalam pelajaran dapan menyerap apa yang dijelaskan oleh guru atau dosen. Bila masih terdapat kesulitan, biasanya saya akan mempelajarinya kembali setelah pelajaran selesai dan berlatih mengerjakan soal agar saya benar-benar menguasainya. 2)       Mampu fokus dalam sesuatu hal yang ingin dicapai

CIVIL LAW : PENGERTIAN, KARAKTERISTIK, SUMBER HUKUM, NEGARA YANG MENERAPKAN

CIVIL LAW (HUKUM SIPIL) a.         Pengertian civil law Hukum sipil adalah sistem hukum yang diilhami dari hukum Romawi dengan ciri ditulis dalam suatu kumpulan, di kodifikasi , dan tidak dibuat oleh hakim. [1] Secara konseptual, sistem ini merupakan sekumpulan gagasan dan sistem hukum yang berasal dari Codex Yustinianus , namun juga banyak dipengaruhi oleh hukum Jermanik Awal , gereja , feudal, praktik lokal, [2] serta kecenderungan doktrinal seperti hukum kodrat , kodifikasi , dan positivisme hukum . Hukum sipil bersifat abstrak. Asas-asas umum dirumuskan, dan perbedaan antara hukum substantif dengan prosedural ditekankan. [3] Dalam sistem ini legislasi dipandang sebagai sumber hukum utama, dan sistem pengadilannya biasanya tidak terikat dengan pendahulu ( stare decisis ) dan terdiri dari petugas-petugas yudisial terlatih dengan kekuasaan penafsiran hukum yang terbatas. Prinsip hukum sipil adalah menyediakan kumpulan hukum yang tertulis dan dapat diakses kepada